Mesjid yang Menyerupai Gereja di Garut




Kali ini Wisata Garut Nikreuh akan membahas keunikan Tempat Wisata di Garut seperti Villa Nangklak Gunung Papandayan yang memang mempunyai kekhasan masing - masing. Tidak hanya tempat wisata, tetapi juga tempat beribadat yang bersejarah. Salah satu ciri unik pun terdapat pada tempat beribadat yaitu Mesjid Cipari. Terkenal dengan santrinya, Desa Cipari pun terkenal dengan Mesjid yang seperti bangunan gereja ini.

Masjid Asy-Syura atau dimaksud Masjid Cipari yaitu salah satu masjid tertua di Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat, Indonesia. Masjid yang berlokasi di desa Cipari, kecamatan Pangatikan ini mulai di bangun th. 1895 dalam kompleks pesantren, tetapi baru usai pada th. 1934. Pendirinya yaitu K. H. Yusuf Taudziri. 


Arsitektur 

Masjid ini mempunyai kekhasan lantaran serupa dengan bangunan gereja. Ciri yang menyatakan bahwa bangunan itu yaitu masjid, hanya kubah serta menara. Yang bikin Masjid Cipari sangatlah serupa dengan gereja, terkecuali bentuk bangunannya yang memanjang dengan pintu paling utama persis ditengah-tengah terlihat muka bangunan, juga kehadiran menaranya yang terdapat di ujung bangunan persis di atas pintu paling utama. 

Posisi menara serta pintu paling utama sudah jadikan sisi ini tampak pas kolaborasi serta terlihat luas. Dari bentuk serta posisi menara serta pintu paling utama ini, bangunan ini mengingatkan pada bentuk bangunan-bangunan gereja. Saat masuk ke, yang berikan pemberi tanda bahwa bangunan ini yaitu masjid hanya kehadiran ruangan mihrab, berbentuk penampil yang melekat di dinding arah kiblat. Sesaat ruangan shalatnya, seluruhnya serupa ruangan kelas yang bisa dimasuki dari pintu di samping utara serta selatan, atau dari pintu timur yang terdapat diantara ruangan naik tangga. 

Pada Masjid Cipari, langgam art deco seperti dicirikan dengan bentuk geometris, tampak terang pada pemrosesan mashabnya. Pola-pola dekorasi geometris yang berulang di atas material batu kali menunjukkan dengan terang langgam ini. Diluar itu, garis horisontal yang halus pada segi samping kanan ataupun kiri, juga mencirikan langgam yang sama. 

Untuk menara serta atapnya yang mirip kubah dengan sebagian elemen dekorasi di bagian samping ataupun puncaknya, juga menyatakan langgam art deco yang artistik. Menara masjid berketinggian kurang lebih 20 mtr., juga menyatakan bahwa bangunan ini yaitu masjid. 


Fungsi 

Masjid ini terkecuali berperan juga sebagai masjid serta pesantren, pada zaman kolonial dipakai juga sebagai pesantren sekalian tempat latihan perang, pertahanan pejuang kemerdekaan, 3 serta berdirinya PSII cabang Garut. Pada zaman kemerdekaan juga sebagai basis latihan tentara pejuang serta dapur umum. Pada zaman pemberontakan DI/TII jadikan tempat pengungsian, perawatan pejuang yang terluka saat kembali dari pindah ke Yogyakarta, tempat perlindungan beberapa pejuang serta keluarganya, dapur umum, dan latihan perang. Lalu, pada zaman G30S/PKI jadikan tempat perjuangan melawan PKI, tempat pertemua beberapa ulama, pertahanan serta perlindungan, dan dapur umum. Saat ini, masjid ini berperan berfungsi juga sebagai tempat beribadah serta madrasah.



Sejarah

Pada saat itu grup Darul Islam akan menyerbu. Malam setelah isya pada 17 April 1952, Kampung Cipari, Wanaraja, Garut, Jawa Barat, senyap. Beberapa masyarakat kampung itu meninggalkan rumah. Mereka berkumpul di kompleks Pesantren Darussalam punya KH Yusuf Tauziri.

Salaf Sholeh selalu mengajar sebagian santri yang mengaji di tempat tinggalnya. Ia belum mengungsi. Tempat tinggalnya cuma 50 mtr. dari pesantren. Sekalian berjaga, pikirnya. Berumur 18 th. saat itu, ia mendadak mendengar ledakan serta nada tembakan. Dari tirai jendela yang ia buka, tampak semburat merah di langit. “Serangannya mendadak, ” tuturnya pada Tempo.

Ia memperkirakan penyerang datang melalui tengah malam. Nyatanya, grup Darul Islam pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo datang lebih cepat. Bunyi kentongan juga bersahutan. Seputar 3. 000 penyerang mengurung desa. Pesantren Darussalam jadi tujuan. Sebagian rumah di sekelilingnya dibakar. Sholeh serta seisi rumah melompat dari jendela, lari menuju pesantren.

Didalam kompleks pesantren, Yusuf Tauziri, paman Sholeh, mengatur komando menahan serangan. Ia berdiri di puncak menara masjid, lantas melempar granat. Beberapa santri dibawah bersiaga dengan senapan serta batu. Bentrok berjalan hingga jam tiga dinihari. Masjid 30 x 70 mtr. itu jadi benteng paling akhir Kiai Yusuf serta beberapa santrinya. “Desingan pelurunya masih tetap terdengar hingga saat ini, ” papar Sholeh.

Tidak gampang bertahan dari gempuran Darul Islam. Menurut Sholeh, jumlah penyerbu lima kali lipat dari penyokong pesantren. Konsentrasi beberapa pengawal juga pecah lantaran mesti melindungi pengungsi wanita serta anak-anak. Senjata mereka juga tidak cukup. Kiai Yusuf serta pengawalnya cuma mempunyai tujuh pucuk senapan serta dua peti granat. Lantaran kurang peluru, Kiai Yusuf memerintahkan anak buahnya cuma menembak tujuan yang mendekat.

Nada salawat serta takbir bergema didalam masjid. Tangisan serta teriakan anak-anak terdengar. Kepanikan mencapai puncak saat penyerbu berupaya membobol tembok barat masjid dengan granat. Usaha itu tidak berhasil lantaran tembok terlampau tidak tipis, seputar 40 sentimeter dengan fondasi batu satu 1/2 mtr..

Serangan mulai surut melalui tengah malam. Pertahanan laskar Pesantren Darussalam tidak dapat ditembus. Tentara Siliwangi juga datang menolong Kiai Yusuf. Tetapi pasukan pertolongan tidak bisa masuk lingkungan pesantren. Tank mereka tertahan di tikungan jalan, seputar 1, 5 km. dari masjid.

Mendekati subuh penyerang mundur. Masyarakat yang bertahan di masjid serta madrasah baru berani keluar sesudah matahari meninggi. Seluruhnya jendela madrasah pecah terkena peluru. Banyak pengungsi terluka. Kepulan asap dari rumah yang dibakar masih tetap tampak. Dari 50 rumah semipermanen di seputar masjid, cuma tiga yang utuh.

Dalam pertempuran itu, empat pengawal pesantren serta tujuh masyarakat Cipari tewas. Kiai Bustomi, kakak ipar Yusuf, juga jadi korban. Ia ditembak saat akan berlindung di masjid. Serbuan ini menyebabkan kengerian masyarakat Cipari. Mereka temukan lusinan mayat di sawah serta empang ikan. Bahkan juga air kolam di seputar pesantren juga berwarna kemerahan.

Momen itu menghantui masyarakat, terlebih wanita serta anak-anak. Mereka ketakutan setiap saat mendengar langkah kaki orang diluar rumah saat malam hari. Temuan mayat juga bikin banyak warga Cipari malas bersawah. Mereka juga tidak ingin makan ikan. “Selama dua th. ikan kami tidak laris di jual, ” tutur Sholeh.

Kiai Yusuf mulai mengatur pesantren serta desa. Cipari kembali sembuh. Momen malam itu dikira mukjizat. Tindakan Yusuf di puncak menara dikira heroik. Saat ini, jalan Garut-Wanaraja selama enam km. menuju pesantren dinamakan Jalan KH Yusuf Tauziri.



Yusuf, pemimpin pesantren, tujuan penyerbuan malam itu, sisa teman dekat Kartosoewirjo.

Persahabatan itu telah terjalin seputar 20 th.. Kiai Yusuf mengetahui Kartosoewirjo saat jadi anggota Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1931-1938. Peneliti Jepang, Hiroko Horikoshi, dari Cornell University, Amerika Serikat, mengatakan jalinan mereka akrab. Yusuf juga jadi salah seseorang penasihat Kartosoewirjo.

Keluarga keduanya juga bahu-membahu dalam perjuangan melawan penjajah di Jawa Barat. Istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, bergaul akrab dengan adik-adik wanita Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam Indonesia Garut.

Pada Hiroko, Kiai Yusuf bercerita perihal ketidaksamaan gagasannya dengan Kartosoewirjo. Pada awal 1940, Kartosoewirjo mengusulkan instansi Suffah dalam kongres Komite Pembela Kebenaran. Komite ini adalah pecahan PSII yang pilih jalan nonkooperatif dengan Belanda.

Dalam kongres itu, Kartosoewirjo mengenalkan rencana pindah, sama pengertiannya dengan pindah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Ia meminta tiap-tiap anggota menyumbangkan 2. 500 kencring (2. 500 sen atau 25 gulden) dan berhimpun ke Suffah.

Tidak sama dengan Kartosoewirjo, Kiai Yusuf memiliki pendapat belum waktunya pindah keseluruhan. Argumennya, persiapan belum masak. Ia mengusulkan duit ditanamkan di bagian pertanian. Akhirnya dapat digunakan untuk menolong pendidikan beberapa calon ulama serta pemimpin. Kartosoewirjo lantas membangun instansi Suffah pada Maret 1940.

Kiai Yusuf sesungguhnya dengan cara tidak segera masih tetap mensupport Suffah. Pada awal keputusannya, ia kirim dua anak laki-laki juga sebagai pengajar. Ia juga memasukkan keponakannya juga sebagai pelajar.

Pada Februari 1948, Kartosoewirjo mengadakan konferensi Darul Islam pertama di Cisayong, Tasikmalaya. Pertemuan itu membuat susunan organisasi gerakan perlawanan, yang dipertegas dalam konferensi ke-2 di Cipeundeuy, Cirebon. Kartosoewirjo semakin mematangkan ide negara Islam yang terpisah dari republik ini.

Kiai Yusuf serta pengikutnya berasumsi ide membangun negara Islam dengan meninggalkan Republik terlampau jauh. Pesantren Darussalam dikira melawan Imam Kartosoewirjo. Terlebih tempat ini senantiasa jadi tempat berlindung masyarakat yang tidak ingin memberi hartanya pada tentara Darul Islam.

Pesantren juga jadi tujuan. Pada 1949-1958, pasukan Darul Islam menyerang Desa Cipari kian lebih 46 kali. Kartosoewirjo punya niat menghabisi Kiai Yusuf sekeluarga dan pengikutnya dengan serangan besar-besaran pada April 1952. Kepungan di Desa Cipari tidak membuyarkan Pesantren Darussalam.

Menara masjid itu masih tetap berdiri sampai saat ini, jadi saksi keteguhan Kiai Yusuf. Sisa tembakan dilewatkan di dinding menara bergaris tengah seputar satu mtr. serta tinggi 20 mtr. ini. Banyak masyarakat memanjat menara. “Mereka cuma mau tahu, sekalian berdoa, ” tutur Sholeh.

Tempat beribadat umat muslim ini memang mempunyai keunikan karena memiliki kemiripan dengan tempat beribadat umat nasrani. Untuk info gereja yang terdapat di Garut, anda bisa Informasi Beberapa Gereja yang Terdapat di Kota Garut.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »